Selasa, 24 Juni 2014

LEGACIES OF POWER KARYA EDHI SUNARSO, DJOKO PEKIK, HERI DONO DAN THERESIA SITOMPUL



EDHI SUNARSO


Judul: Keberangkatan Pengasingan presiden Soekarno oleh Belanda ke Pulau Bangka
Tahun: 1998
Media: Bronze
Ukuran: 440 x 80 x 80 cm
“sosok Soekarno adalah ikon sejati Negara ini. Sebagai seorang arsitek, Soekarno tidak hanya merancang bangunan namun juga sebuah Negara, sebuah Bangsa yang diharapkan mampu menjadi mercu suar dunia. Melalui karya ini Edhi Sunarso mencoba memaknai kisah ironis yang dialami oleh Soekarno pada tahun 1949 ketika ia harus mengalami pengasingan (lagi) oleh Belanda. Terlebih di negerinya sendiri , negeri yang dengan segala daya upaya akhirnya bisa di proklamirkan kemerdekaannya, empat tahun sebelum peristiwa pengasingan ini. “
Patung Soekarno yang di pamerkan di ART JOG 2014 karya Edhi Sunarso ini tersirat banyak makna, kegagahan Bung Karno tegak berdiri dan rasa Nasionalime yang membara terlihat dan berhasil seniman ciptakan dalam karyanya yang satu ini. Soekarno yang harus diasingkan ke Pulau Bangka pada tahun 1949 setelah kemerdekaan  Indonesia, mungkin saja batinnya pada saat itu mengalami kombinasi rasa berkecamuk dan berdentam. Namun semua itu tak membuatnya gentar dan tetap semangat memperjuangkan Negara yang kaya akan budaya ini.
Patung yang terpampang di ART JOG ini mampu menarik banyak perhatian pengunjung yang turut penasaran akan hebatnya perjuangan seorang Soekarno, ukuran yang lumayan tinggi dan lebar ini membuat saya maupun pengunjung lainnya terkagum-kagum akan sang maestro Edhi Sunarso.

DJOKO PEKIK


Judul: Go To Hell Crocodile
Tahun: 2014
Media: Oil on Canvas
Ukuran: 275 x 600 cm
“Revolusi kemerdekaan Indonesia ditebus dengan nyawa. Kini 69 Tahun sudah umur kemerdekaan Indonesia, tapi 49 tahun terakhir tercabik-cabik oleh kapitalis asing yang telah mencengkeram dan menjarah kekayaan tanah air Indonesia hingga ke akarnya. Wahai pengurus bangsa, kembalikan martabat bangsa dan daulat negara dan hentikan penjarahan kapitalisme asing.”
Menurut pengamatan yang saya tangkap dari karya Djoko Pekik disini adalah keresahan akan budaya penjarahan yang banyak terjadi di negeri Indonesia tercinta ini. Buaya berukuran lebih besar dari ukuran manusia dan dengan lidah yang keluar api seperti melambangkan penguasa atau si penjarah wilayah kekuasaan yang ingin merampas habis wilayah beserta isinya. Si buaya mencoba mengendap perlahan sebelum menerkam lawan, matanya yang penuh sorot kejahatan seakan memberikan ancaman agar manusia semua ketakutan, cakar dan taringnya terlihat betapa sadisnya binatang bernama “Buaya”.
Terlihat berjejer sekumpulan manusia yang datang dari berbagai lintas profesi dan sepertinya di barisan depan terlihat Djoko Pekik sedang membawa bambu runcing. Bambu runcing menyimbolkan senjata perlawanan bangsa Indonesia pada zaman dahulu ketika masih dijajah, mungkin ini alasan mengapa Djoko Pekik tidak memilih untuk melukiskan senjata lain yang sedang ia bawa seperti contohnya pistol, samurai dan lain sejenisnya.
Pemilihan warna terlihat balance dan manis sehingga enak ketika dinikmati, Djoko Pekik mampu membuat pikiran bawah sadar mencair dan menerawang jauh ketika melihat karyanya. Menerka pesan apa yang ada di dalam lukisannya tersebut, saya menangkap sesuatu ketika melihat ada lubang seperti lorong melingkar diantara buaya dan sekumpulan manusia yang mencoba melawan. Lubang atau lorong panjang yang berujung terlihat hitam itu seperti kehidupan, semua terus berjalan melewati waktu demi waktu selama nafas masih dikandung badan perjuangan dan perlawanan akan kemunafikan dan problema kehidupan akan terus berjalan berdampingan. Sampai tiba pada waktunya semua akan berakhir, yakni kematian. Hanya kematian yang akan menghentikan perlawanan terhadap penjarahan.



HERI DONO

Judul: Riding The Tigerish Goat
Tahun: 2014
Media: Fiberglass, enamel paint, electronic and mechanical
Ukuran: 5 pieces each 125 x 100 x 115 cm
“Karya ini terinspirasi oleh era orde baru yang sangat otoriter dan sesungguhnya masih ada korelasinya dengan situasi saat ini. Riding The Tigerish Goat adalah parodi dari Riding the Tiger, film dokumenter karya Curtis Levy mengenai situasi politik di Indonesia. Ternyata yang ditunggangi oleh sang tokoh bukanlah harimau yang setiap saat dapat menerkam dan memakan sang tokoh, melainkan hanya kambing yang berlagak sebagai harimau yang membuatnya dapat berkuasa hingga puluhan tahun.”
Heri Dono menciptakan sebuah karya yang menggunakan perumpamaan seeokor harimau berkepala manusia yang dinaiki oleh prajurit. Namun menurut keterangan sesungguhnya ini bukanlah harimau melainkan hanya seekor kambing yang berlagak bagai harimau saja. Yang saya tangkap dari keterangan karya yakni, badan harimau namun mental kambing yang dimaksud disini adalah raga yang dimiliki ikon ini tidak sesuai dengan mental yang sebenarnya ia punyai. Penggambaran jaman orde baru yang penuh dengan sistem otoriter banyak paras yang terlihat ganas namun mental dan isi yang ada di dalamnya tak sesuai.
Para prajurit yang menunggangi harimau tersebut seperti menggambarkan penguasa pada era orde baru tersebut yang berkuasa selama puluhan tahun. Terlihat gagah dengan menunggaungi harimau sebagai simbol kejantanannya, namun ternyata harimau disini hanyalah kamuflase agar rakyat menjadi takut dan tunduk akan peraturan yang ia buat saat itu.


THERESIA AGUSTINA SITOMPUL


Judul: Igau
Tahun: 2014
Media: Mix Media Video Instalation
Talent: Chacha ninimranggi (Chandra Setiyawan, Sosiologi UIN Yogyakarta)
Variable Dimensions: 00:04’:48”
“Mengigau biasanya dilakukan tanpa sadar dan bentuknya hanya dapat berbisik, berbicara normal atau bahkan berteriak. Begitu pula yang terjadi pada tataran pembesar di Negeri ini yang banyak “mengigau” , berkoar-koar  tanpa makna. Sadar fisik tapi tak sadar pikiran. Sehingga apapun yang diutarakan rakyatnya hanya numpang lewat.”
Theresia melalui karyanya ingin menyampaikan aspirasi rakyat agar hal sekecil apapun dapat didengar dan direalisasikan oleh pemerintah Negeri ini. Seolah-olah apa yang rakyat teriakkan selama ini hanyalah angin lalu yang tak ada gunanya bak kentut yang aromanya tak banyak orang harapkan. Melalui karyanya ini Theresia Sitompul membuat suatu gebrakan bahwasannya siapa saja mempunyai hak untuk menyuarakan apa yang ia inginkan dan ia ingin wuudkan.
Saya melihat Talent yang ada dalam Video Instalasi ini seorang wanita memakai jilbab dan pakaian muslim, namun jika dilihat dan diamati lebih detail lagi Talent disini adalah seorang lelaki bernama Chandra mahasiswa UIN Yogyakarta. Saya mengambil kesimpulan bahwa si Talent ini adalah seorang transgender, ia bisa saja berharap segala aspirasinya dapat didengar oleh pemerintah. Pada bagian atas Video terdapat seperti bantalan kemudian di bagian tengah terdapat pistol, pistol disini saya menangkap mempunyai arti atau lambang lelaki. Dimana pistol identik digunakan oleh mayoritas kaum adam, kemudian dibagian paling bawah ada bantalan seperti bayi yang sedang memiringkan badannya dalam kandungan. Ini bisa saja menyimbolkan bahwasannya seorang transgender pada dasarnya adalah pria yang memiliki kromosom XY. Kemudian seiring perjalanan hidupnya ia merasa tidak nyaman dengan identitas yang ia punya maka berubahlah ia menjadi seperti wanita bahkan mirip wanita seutuhnya. Jadi kesimpulannya Video Instalasi yang Theresia buat ini adalah sebuah teriakan dimana di dalam negara kita Indonesia ini ada seseorang yang mengalami transgender namun terkadang keberadaannya masih kurang dihargai baik oleh masyarakat luas maupun oleh pemerintah itu sendiri. Sehingga karya yang berjudul ‘Delirium’ ini sangat cocok sebagai penggambaran bahwa semuanya seperti mengigau saja, bersuara namun tak dianggap ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar