Sabtu, 22 Maret 2014

'AKU' Monyet

"Bukankah titik hujan tak pernah bertanya, kenapa mereka harus meninggalkan tata langit saat harus jatuh membasuh bukit"_____Rectoverso(Larasati), salah satu petikan film yang tayang pada tahun 2013 kemarin. Terkadang hal yang dianggap berarti dalam hidup begitu saja pergi tanpa permisi, semudah itu ia keluar masuk.Tapi apakah hati tahu tentang firasat yang akan terjadi suatu ketika nanti? sejatinya sendiri sudah berulang kali dirasakan. Kala membutuhkan bahu untuk bersandar, bahu pergi dan enggan untuk sekedar menoleh. Sendiri membuat hati menjadi lemah, namun terkadang sendiri menjadikan hati semakin kuat dan tahu siapa yang selalu ada untuk-Nya.

Ingin teriak!!! namun semuanya menjadi tertahan dan sesak. lambat laun hanya terurai dengan sendirinya. Apa yang salah dari alur ini? hanya resah yangku temui pada ujungnya. Oh tentu tidak! ini bukan akhir, aku yakin ini bukan akhir! Aku belum menemukan adegan bahagia yang Tuhan sudah skenariokan. Rasanya bagai di dalam ruangan kotak yang luas dan terdapat empat sudut, kemudian aku duduk di salah satu sudut-Nya sendiri. ketakutan, terpojokkan, keringat dingin, berwarna hitam putih, berurai air mata, mencari pegangan, hampir terbunuh dan sangat-sangat ketakutan. Aku segera membuka buku catatan lamaku, di dalam buku itu aku pernah menulis seperti ini "Berterimakasihlah pada resah. karena resah engkau menjadi gelisah kemudian engkau semakin menjadi kreatif. Apa-apa yang sebelum-Nya tak terpikirkan kau mampu untuk menjamahnya." Aku tak mengerti apa maksudku dulu menuliskan itu. Aku ingat, dulu sering sekali perasaan seperti ini dialami, dan lagi-lagi aku melaluinya sendiri. Apakah Ayah dan Ibu dahulu pernah merasakan hal serupa seperti ini? jika iya, rasanya mengerikan menjadi orang dewasa. ah sungguh aku takut menjadi manusia dewasa.

Ingin loncat!!! Ingin pukuli kepala sedari tadi. Aku sadar ini bukan gila namanya. jelas-jelas aku sadar dan masih mampu membuat puisi untuk seorang lelaki. Apa aku ini monyet?

Terlalu gengsi bagi manusia untuk mengakui bahwa diri-Nya MONYET. Walaupun memang benar ia adalah monyet. Hanya saja ia monyet yang memakai kemeja dan dasi rapi. Kenapa mesti keberatan dipanggil monyet, jika kelakuan-Nya tak jauh beda dengan monyet? Baiklah jika aku terlalu mendesak. Lupakan.

Hidup dengan membawa phobia bukan hal yang mudah ternyata. Betapa bahagia-Nya jikaku menjadi monyet. Berlari kesana-kemari, tak pernah merasa sepi, banyak kawan dan tidak akan membiarkan-Nya sendiri. Tuhan, semoga aku bukan manusia yang tergolong kufur nikmatmu.



Selasa, 11 Maret 2014

Maret Sore ini



Menepi perlahan
Mata kita bertemu di atas meja
Dua mangkuk bisu bersaksi
Meneguk senja mengitari sudut bumi Tuhan
Derapnya melaju perlahan
Beriringan mengantarkan kesunyian
Sekedar bertukar pikiran
Menginjakan kaki di pertokoan
Membuka helai demi helai
Ada ilmu baru ketia aku bersamamu
Mengajarkan halaman baru yang tak aku tahu
Waktu perlahan memburu
Engkau ajak aku beranjak dari toko buku.
Ketika senja pergi,
Matamu berkata hari ini luar biasa
Hatimu pun mengeja, sore ini aku ada.



YA




Ya, terkadang sendiri membuat hati tenang dan terkadang pula risau. Masih banyak lagi deretan kata untuk mendefinisikan sendiri, menikmati hujan sendiri dengan secangkir kopi itu adalah suatu kebahagiaan tersendiri yang dialami oleh sebagian banyak orang. Tanpa banyak orang ketahui bahagia itu amat sangat sederhana. Kamu tahu ocehan malam yang menyampah dipendengaran? Yaa itu hanya sampah busuk dipojokan kekangan. Tidak berfungsi tidak berisi, hanya koaran bau yang semakin tak bermutu. Berisikkkkkk!!!
Kau yang selalu bilang selalu bilang untuk tetap aku disini, ahh mungkin semacam ancaman sesaat saja. Dan aku tidak menyukai alkohol! Jangankan alkohol baunya saja aku muak! Jadi aku tidak ingin mempunyai suami seorang peminum, perokok mungkin masih dalam ambang kewajaran selagi tidak berlebihan mengkonsumsinya.
Hahaha terserah terserah terserah para tuan dan nyonya yang duduk manis memantau kaki tangan nistanya berjuang dilumpur kelelahan.
Hey tengok jendelamu, ada hujan yang meronta-ronta kesakitan.

Senja di dalam aqua gelas






Dua puluh lima juni dua ribu tiga belas
Ada senja meronta-ronta
Aku mencoba mendekat kemudian aku dekap
Sinarnya mulai menghangatkan tubuhku yang semakin kaku
Aku rindu dekapan senja
Aku tak ingin senja pergi begitu saja meninggalkan kota ini
Aku simpan dia dalam aqua gelas

Yogyakarta, 25 juni 2013

Jumat, 07 Maret 2014

Mie instant





Siang tadi didua puluh tiga juli dua ribu tiga belas
Ada sederet kata yang ingin ku tulis, namun tak tersampaikan
Ada banyak tumpukan buku
Dari berbagai karangan manusia
Mungkin itu salah satu dari mimpi ku dahulu
Tulisan ku di muat di rak buku itu
Namun sudah beberapa tahun masih saja tertumpuk dalam hayal
Kapan semuanya bermain dengan kata
Jawaban tidak penting nampaknya untuk kali ini
Aku lebih menyukai dunia lain bukan dunia kata
Bukan dunia yang dahulu menjanjikan aku untuk menjadi penulis besar yang bijak
Apalah itu aku tak mengerti
Rasanya hanya pekikan hati yang kembali meluap ke tepi
Dan sekarang pukul dua belas malam
Setelah sederet aktivitas aku lalui, ditutup dengan semangkuk mie instan
Ini adalah kebahagiaan yang luar biasa
Semangkuk mie instan dengan kuah kedamaian


Yogyakarta, 23 juli 2013
0:40
Senayan tengah

Sabtu, 01 Maret 2014

if you don't stop this....who will?



Banyak kasus-kasus yang terjadi sekarang ini di negri kita indonesia, seperti korupsi, pemerkosaan, perampokan, penculikan anak dan masih banyak lagi. Namun yang paling mencolok sekarang ini yaitu kasus kekerasan, yang dapat kita temukan diberbagai pelosok negeri ini. Seorang ayah yang menyiksa anak kandungnya sampai tewas, ada lagi seorang lelaki yang mencoba membunuh seorang balita dengan cara disemen hingga kaku dan masih banyak lagi kasus-kasus kekerasan semacam itu yang terjadi di indonesia.
Teringat ketika beberapa hari yang lalu diawal Desember tepatnya ketika anggota magang lpm pendapa sedang melaksanakan diklatsar yang bertempat di pondok pemuda ambarbinangun kasihan-bantul, ada sekitar 5-6 anak laki-laki usianya kurang lebih 9-10 tahunan sedang bergerombol di tengah lapangan luas depan pondok tempat kami beristirahat sore itu. Salah satu diantara mereka ada yang mengenakan kaos biru yang bagian lehernya compang-camping, berbadan lebih kurus dan lebih kecil dari teman-teman yang lainnya. Dia berkata kepada teman-temannya “wes toh....aku ki salah opo e sa”   ucap anak laki-laki itu sambil berjalan mundur dan sesekali menutupi wajahnya karena takut terkena tinju oleh temannya yang memiliki postur tubuh lebih besar darinya.
Dari jarak kejauhan sangat terlihat jelas anak berbaju biru itu sedang dipukuli habis-habisan oleh teman-temannya, dijatuhkan ketanah gersang, dipukuli bagian wajah maupun perutnya, digulingkan kemudian diinjak, sesekali dia berlari ingin meloloskan diri dari cengkraman teman-temannya namun teman-temannya mengejar seolah tidak ingin melepaskan anak berbaju biru tersebut. Dengan rasa belas kasihan aku bersama teman-teman lpm pendapa yang turut menyaksikan kejadian tersebut kemudian melerainya, namun baru sempat mengucap kata “dek... sudah... sudah... jangan berkelahi” mereka langsung menyangkalnya “dasar cerewet!!!”. Namun hal tersebut tak membuat kami berhenti untuk memisahkan bocah kecil yang berlagak seperti preman itu untuk menyudahi perkelahiannya.
Miris sekali ketika melihat seusia mereka yang masih terbilang sangat muda untuk berkelahi seperti preman pasar yang ngamuk-ngamuk meminta jatah makannya, setelahku dekati gerombolan tersebut kaget bukan main ketika melihat wajah anak laki-laki yang tadi memukuli anak berbaju biru tersebut bonyok berceceran darah dibagian dekat mata sembari dipenuhi pasir. Anak berbaju biru masih merengek bercucuran air mata ketakutan, ada sesuatu yang menarik disini. Anak berbaju biru tersebut yang berpostur lebih kecil dari teman seusianya memiliki tatto pada bagian dada dan punggungnya, tatto tersebut berupa tulisan. Entah tulisan apa itu kami tidak faham, namun yang membuat tersentak yakni anak kecil seusia 9 tahun sudah berani memasang tatto yang sepertinya terlihat permanen. Usik punya usik ternyata perkara awalnya ialah si anak berbaju biru kurus kecil dan bertatto itu yang memulai terjadinya perkelahian yang mengakibatkan wajah temannya bercucuran darah. Karena temannya tidak terima atas perilaku tersebut, maka terjadilah percekcokan berkepanjangan.
Setiap orang tua pasti tidak menginginkan anaknya tumbuh menjadi orang yang tidak berguna dan hanya menjadi sampah. Namun demikian, banyak faktor yang mendorong dan mempengaruhi didalam proses tumbuh kembang  si anak. Diantaranya yaitu pergaulan dan lingkungan, bagaimana cara anak tersebut bergaul dengan teman-temannya dan seperti apa mereka berkomunikasi ketika bermain. Dengan cara yang baikkah, atau malah negatif.
Hal yang semacam ini membutuhkan bimbingan ekstra dari orang-orang terdekatnya, seperti keluarga. Karena jika dibiarkan berkepanjangan akan mengganggu psikologi anak, apalagi anak tersebut masih berusia sangat muda sekali. Kekuatan emosional yang masih labil, mudah berubah-ubah dan meletup-letup.  Pengontrolan ruang lingkup bermain secara rutinpun sangat penting bagi orang tua terhadap anak. Yang terpenting yaitu adanya komunikasi, agar orang tua tahu apa yang si anak sedang rasakan.
Seperti apa yang pernah dibicarakan kak seto mulyadi (2010) bahwa sebenarnya anak-anak ini adalah korban. Mereka merupakan korban dari lingkungan yang tidak kondusif,sehingga ahirnya menjadi nakal. Ia mencontohkan lingkungan yang tidak kondusif adalah misalkan rumah yang kurang hangat dan nyaman karena orang tua terlalu sibuk sehingga tidak bisa bercanda dengan anak. Bisa juga karena orang tua terlalu keras sehingga terlalu mengekang. Selain itu orang tua yang membolehkan segala-galanya juga tidak benar. Jadi sebenarnya tidak ada anak nakal. Yang membuat nakal justru karena kita sebagai orang tua. Jika para orang tua terus memperhatikan perkembangan  anaknya sejak kecil, remaja hingga dewasa dengan menggunakan komunikasi efektif, maka kita tidak akan menjumpai anak-anak yang nakal ini. Jadi sekali lagi anak-anak adalah korban.
Kekerasan dapat terjadi dimanapun, oleh siapapun, dalam bentuk apapun. Budaya seperti inilah yang tidak mencerminkan keindonesiaannya. Karena banyak wisatawan asing yang menilai bahwa indonesia adalah negara yang ramah dan cinta damai, maka seharusnya hal semacam itu dapat terwujud di negara kita ini.