"Bukankah titik hujan tak pernah bertanya, kenapa mereka harus meninggalkan tata langit saat harus jatuh membasuh bukit"_____Rectoverso(Larasati), salah satu petikan film yang tayang pada tahun 2013 kemarin. Terkadang hal yang dianggap berarti dalam hidup begitu saja pergi tanpa permisi, semudah itu ia keluar masuk.Tapi apakah hati tahu tentang firasat yang akan terjadi suatu ketika nanti? sejatinya sendiri sudah berulang kali dirasakan. Kala membutuhkan bahu untuk bersandar, bahu pergi dan enggan untuk sekedar menoleh. Sendiri membuat hati menjadi lemah, namun terkadang sendiri menjadikan hati semakin kuat dan tahu siapa yang selalu ada untuk-Nya.
Ingin teriak!!! namun semuanya menjadi tertahan dan sesak. lambat laun hanya terurai dengan sendirinya. Apa yang salah dari alur ini? hanya resah yangku temui pada ujungnya. Oh tentu tidak! ini bukan akhir, aku yakin ini bukan akhir! Aku belum menemukan adegan bahagia yang Tuhan sudah skenariokan. Rasanya bagai di dalam ruangan kotak yang luas dan terdapat empat sudut, kemudian aku duduk di salah satu sudut-Nya sendiri. ketakutan, terpojokkan, keringat dingin, berwarna hitam putih, berurai air mata, mencari pegangan, hampir terbunuh dan sangat-sangat ketakutan. Aku segera membuka buku catatan lamaku, di dalam buku itu aku pernah menulis seperti ini "Berterimakasihlah pada resah. karena resah engkau menjadi gelisah kemudian engkau semakin menjadi kreatif. Apa-apa yang sebelum-Nya tak terpikirkan kau mampu untuk menjamahnya." Aku tak mengerti apa maksudku dulu menuliskan itu. Aku ingat, dulu sering sekali perasaan seperti ini dialami, dan lagi-lagi aku melaluinya sendiri. Apakah Ayah dan Ibu dahulu pernah merasakan hal serupa seperti ini? jika iya, rasanya mengerikan menjadi orang dewasa. ah sungguh aku takut menjadi manusia dewasa.
Ingin loncat!!! Ingin pukuli kepala sedari tadi. Aku sadar ini bukan gila namanya. jelas-jelas aku sadar dan masih mampu membuat puisi untuk seorang lelaki. Apa aku ini monyet?
Terlalu gengsi bagi manusia untuk mengakui bahwa diri-Nya MONYET. Walaupun memang benar ia adalah monyet. Hanya saja ia monyet yang memakai kemeja dan dasi rapi. Kenapa mesti keberatan dipanggil monyet, jika kelakuan-Nya tak jauh beda dengan monyet? Baiklah jika aku terlalu mendesak. Lupakan.
Hidup dengan membawa phobia bukan hal yang mudah ternyata. Betapa bahagia-Nya jikaku menjadi monyet. Berlari kesana-kemari, tak pernah merasa sepi, banyak kawan dan tidak akan membiarkan-Nya sendiri. Tuhan, semoga aku bukan manusia yang tergolong kufur nikmatmu.
Sabtu, 22 Maret 2014
Selasa, 11 Maret 2014
Maret Sore ini
Menepi
perlahan
Mata
kita bertemu di atas meja
Dua
mangkuk bisu bersaksi
Meneguk
senja mengitari sudut bumi Tuhan
Derapnya
melaju perlahan
Beriringan
mengantarkan kesunyian
Sekedar
bertukar pikiran
Menginjakan
kaki di pertokoan
Membuka
helai demi helai
Ada ilmu
baru ketia aku bersamamu
Mengajarkan
halaman baru yang tak aku tahu
Waktu
perlahan memburu
Engkau
ajak aku beranjak dari toko buku.
Ketika
senja pergi,
Matamu
berkata hari ini luar biasa
Hatimu
pun mengeja, sore ini aku ada.
YA
Ya,
terkadang sendiri membuat hati tenang dan terkadang pula risau. Masih banyak
lagi deretan kata untuk mendefinisikan sendiri, menikmati hujan sendiri dengan
secangkir kopi itu adalah suatu kebahagiaan tersendiri yang dialami oleh
sebagian banyak orang. Tanpa banyak orang ketahui bahagia itu amat sangat
sederhana. Kamu tahu ocehan malam yang menyampah dipendengaran? Yaa itu hanya
sampah busuk dipojokan kekangan. Tidak berfungsi tidak berisi, hanya koaran bau
yang semakin tak bermutu. Berisikkkkkk!!!
Kau yang
selalu bilang selalu bilang untuk tetap aku disini, ahh mungkin semacam ancaman
sesaat saja. Dan aku tidak menyukai alkohol! Jangankan alkohol baunya saja aku
muak! Jadi aku tidak ingin mempunyai suami seorang peminum, perokok mungkin
masih dalam ambang kewajaran selagi tidak berlebihan mengkonsumsinya.
Hahaha
terserah terserah terserah para tuan dan nyonya yang duduk manis memantau kaki
tangan nistanya berjuang dilumpur kelelahan.
Hey
tengok jendelamu, ada hujan yang meronta-ronta kesakitan.
Senja di dalam aqua gelas
Dua puluh lima juni dua ribu tiga belas
Ada senja meronta-ronta
Aku mencoba mendekat kemudian aku dekap
Sinarnya mulai menghangatkan tubuhku yang semakin kaku
Aku rindu dekapan senja
Aku tak ingin senja pergi begitu saja meninggalkan kota ini
Aku simpan dia dalam aqua gelas
Yogyakarta, 25 juni
2013
Jumat, 07 Maret 2014
Mie instant
Siang tadi didua puluh tiga juli dua ribu tiga belas
Ada sederet kata yang ingin ku tulis, namun tak tersampaikan
Ada banyak tumpukan buku
Dari berbagai karangan manusia
Mungkin itu salah satu dari mimpi ku dahulu
Tulisan ku di muat di rak buku itu
Namun sudah beberapa tahun masih saja tertumpuk dalam hayal
Kapan semuanya bermain dengan kata
Jawaban tidak penting nampaknya untuk kali ini
Aku lebih menyukai dunia lain bukan dunia kata
Bukan dunia yang dahulu menjanjikan aku untuk menjadi
penulis besar yang bijak
Apalah itu aku tak mengerti
Rasanya hanya pekikan hati yang kembali meluap ke tepi
Dan sekarang pukul dua belas malam
Setelah sederet aktivitas aku lalui, ditutup dengan
semangkuk mie instan
Ini adalah kebahagiaan yang luar biasa
Semangkuk mie instan dengan kuah kedamaian
Yogyakarta, 23 juli
2013
0:40
Senayan tengah
Sabtu, 01 Maret 2014
if you don't stop this....who will?
Banyak kasus-kasus yang terjadi
sekarang ini di negri kita indonesia, seperti korupsi, pemerkosaan, perampokan,
penculikan anak dan masih banyak lagi. Namun yang paling mencolok sekarang ini
yaitu kasus kekerasan, yang dapat kita temukan diberbagai pelosok negeri ini.
Seorang ayah yang menyiksa anak kandungnya sampai tewas, ada lagi seorang
lelaki yang mencoba membunuh seorang balita dengan cara disemen hingga kaku dan
masih banyak lagi kasus-kasus kekerasan semacam itu yang terjadi di indonesia.
Teringat ketika beberapa hari
yang lalu diawal Desember tepatnya ketika anggota magang lpm pendapa sedang
melaksanakan diklatsar yang bertempat di pondok pemuda ambarbinangun
kasihan-bantul, ada sekitar 5-6 anak laki-laki usianya kurang lebih 9-10
tahunan sedang bergerombol di tengah lapangan luas depan pondok tempat kami
beristirahat sore itu. Salah satu diantara mereka ada yang mengenakan kaos biru
yang bagian lehernya compang-camping, berbadan lebih kurus dan lebih kecil dari
teman-teman yang lainnya. Dia berkata kepada teman-temannya “wes toh....aku ki salah opo e sa” ucap anak laki-laki itu sambil berjalan
mundur dan sesekali menutupi wajahnya karena takut terkena tinju oleh temannya
yang memiliki postur tubuh lebih besar darinya.
Dari jarak kejauhan sangat
terlihat jelas anak berbaju biru itu sedang dipukuli habis-habisan oleh
teman-temannya, dijatuhkan ketanah gersang, dipukuli bagian wajah maupun
perutnya, digulingkan kemudian diinjak, sesekali dia berlari ingin meloloskan
diri dari cengkraman teman-temannya namun teman-temannya mengejar seolah tidak
ingin melepaskan anak berbaju biru tersebut. Dengan rasa belas kasihan aku
bersama teman-teman lpm pendapa yang turut menyaksikan kejadian tersebut
kemudian melerainya, namun baru sempat mengucap kata “dek... sudah... sudah...
jangan berkelahi” mereka langsung menyangkalnya “dasar cerewet!!!”. Namun hal
tersebut tak membuat kami berhenti untuk memisahkan bocah kecil yang berlagak
seperti preman itu untuk menyudahi perkelahiannya.
Miris sekali ketika melihat
seusia mereka yang masih terbilang sangat muda untuk berkelahi seperti preman
pasar yang ngamuk-ngamuk meminta jatah makannya, setelahku dekati gerombolan
tersebut kaget bukan main ketika melihat wajah anak laki-laki yang tadi
memukuli anak berbaju biru tersebut bonyok berceceran darah dibagian dekat mata
sembari dipenuhi pasir. Anak berbaju biru masih merengek bercucuran air mata
ketakutan, ada sesuatu yang menarik disini. Anak berbaju biru tersebut yang
berpostur lebih kecil dari teman seusianya memiliki tatto pada bagian dada dan
punggungnya, tatto tersebut berupa tulisan. Entah tulisan apa itu kami tidak
faham, namun yang membuat tersentak yakni anak kecil seusia 9 tahun sudah
berani memasang tatto yang sepertinya terlihat permanen. Usik punya usik
ternyata perkara awalnya ialah si anak berbaju biru kurus kecil dan bertatto
itu yang memulai terjadinya perkelahian yang mengakibatkan wajah temannya
bercucuran darah. Karena temannya tidak terima atas perilaku tersebut, maka
terjadilah percekcokan berkepanjangan.
Setiap orang tua pasti tidak
menginginkan anaknya tumbuh menjadi orang yang tidak berguna dan hanya menjadi
sampah. Namun demikian, banyak faktor yang mendorong dan mempengaruhi didalam
proses tumbuh kembang si anak.
Diantaranya yaitu pergaulan dan lingkungan, bagaimana cara anak tersebut
bergaul dengan teman-temannya dan seperti apa mereka berkomunikasi ketika
bermain. Dengan cara yang baikkah, atau malah negatif.
Hal yang semacam ini membutuhkan
bimbingan ekstra dari orang-orang terdekatnya, seperti keluarga. Karena jika
dibiarkan berkepanjangan akan mengganggu psikologi anak, apalagi anak tersebut
masih berusia sangat muda sekali. Kekuatan emosional yang masih labil, mudah
berubah-ubah dan meletup-letup. Pengontrolan
ruang lingkup bermain secara rutinpun sangat penting bagi orang tua terhadap
anak. Yang terpenting yaitu adanya komunikasi, agar orang tua tahu apa yang si
anak sedang rasakan.
Seperti apa yang pernah
dibicarakan kak seto mulyadi (2010) bahwa sebenarnya anak-anak ini adalah
korban. Mereka merupakan korban dari lingkungan yang tidak kondusif,sehingga
ahirnya menjadi nakal. Ia mencontohkan lingkungan yang tidak kondusif adalah
misalkan rumah yang kurang hangat dan nyaman karena orang tua terlalu sibuk
sehingga tidak bisa bercanda dengan anak. Bisa juga karena orang tua terlalu
keras sehingga terlalu mengekang. Selain itu orang tua yang membolehkan
segala-galanya juga tidak benar. Jadi sebenarnya tidak ada anak nakal. Yang
membuat nakal justru karena kita sebagai orang tua. Jika para orang tua terus
memperhatikan perkembangan anaknya sejak
kecil, remaja hingga dewasa dengan menggunakan komunikasi efektif, maka kita
tidak akan menjumpai anak-anak yang nakal ini. Jadi sekali lagi anak-anak
adalah korban.
Kekerasan dapat terjadi
dimanapun, oleh siapapun, dalam bentuk apapun. Budaya seperti inilah yang tidak
mencerminkan keindonesiaannya. Karena banyak wisatawan asing yang menilai bahwa
indonesia adalah negara yang ramah dan cinta damai, maka seharusnya hal semacam
itu dapat terwujud di negara kita ini.
Langganan:
Postingan (Atom)