Sabtu, 01 Maret 2014

if you don't stop this....who will?



Banyak kasus-kasus yang terjadi sekarang ini di negri kita indonesia, seperti korupsi, pemerkosaan, perampokan, penculikan anak dan masih banyak lagi. Namun yang paling mencolok sekarang ini yaitu kasus kekerasan, yang dapat kita temukan diberbagai pelosok negeri ini. Seorang ayah yang menyiksa anak kandungnya sampai tewas, ada lagi seorang lelaki yang mencoba membunuh seorang balita dengan cara disemen hingga kaku dan masih banyak lagi kasus-kasus kekerasan semacam itu yang terjadi di indonesia.
Teringat ketika beberapa hari yang lalu diawal Desember tepatnya ketika anggota magang lpm pendapa sedang melaksanakan diklatsar yang bertempat di pondok pemuda ambarbinangun kasihan-bantul, ada sekitar 5-6 anak laki-laki usianya kurang lebih 9-10 tahunan sedang bergerombol di tengah lapangan luas depan pondok tempat kami beristirahat sore itu. Salah satu diantara mereka ada yang mengenakan kaos biru yang bagian lehernya compang-camping, berbadan lebih kurus dan lebih kecil dari teman-teman yang lainnya. Dia berkata kepada teman-temannya “wes toh....aku ki salah opo e sa”   ucap anak laki-laki itu sambil berjalan mundur dan sesekali menutupi wajahnya karena takut terkena tinju oleh temannya yang memiliki postur tubuh lebih besar darinya.
Dari jarak kejauhan sangat terlihat jelas anak berbaju biru itu sedang dipukuli habis-habisan oleh teman-temannya, dijatuhkan ketanah gersang, dipukuli bagian wajah maupun perutnya, digulingkan kemudian diinjak, sesekali dia berlari ingin meloloskan diri dari cengkraman teman-temannya namun teman-temannya mengejar seolah tidak ingin melepaskan anak berbaju biru tersebut. Dengan rasa belas kasihan aku bersama teman-teman lpm pendapa yang turut menyaksikan kejadian tersebut kemudian melerainya, namun baru sempat mengucap kata “dek... sudah... sudah... jangan berkelahi” mereka langsung menyangkalnya “dasar cerewet!!!”. Namun hal tersebut tak membuat kami berhenti untuk memisahkan bocah kecil yang berlagak seperti preman itu untuk menyudahi perkelahiannya.
Miris sekali ketika melihat seusia mereka yang masih terbilang sangat muda untuk berkelahi seperti preman pasar yang ngamuk-ngamuk meminta jatah makannya, setelahku dekati gerombolan tersebut kaget bukan main ketika melihat wajah anak laki-laki yang tadi memukuli anak berbaju biru tersebut bonyok berceceran darah dibagian dekat mata sembari dipenuhi pasir. Anak berbaju biru masih merengek bercucuran air mata ketakutan, ada sesuatu yang menarik disini. Anak berbaju biru tersebut yang berpostur lebih kecil dari teman seusianya memiliki tatto pada bagian dada dan punggungnya, tatto tersebut berupa tulisan. Entah tulisan apa itu kami tidak faham, namun yang membuat tersentak yakni anak kecil seusia 9 tahun sudah berani memasang tatto yang sepertinya terlihat permanen. Usik punya usik ternyata perkara awalnya ialah si anak berbaju biru kurus kecil dan bertatto itu yang memulai terjadinya perkelahian yang mengakibatkan wajah temannya bercucuran darah. Karena temannya tidak terima atas perilaku tersebut, maka terjadilah percekcokan berkepanjangan.
Setiap orang tua pasti tidak menginginkan anaknya tumbuh menjadi orang yang tidak berguna dan hanya menjadi sampah. Namun demikian, banyak faktor yang mendorong dan mempengaruhi didalam proses tumbuh kembang  si anak. Diantaranya yaitu pergaulan dan lingkungan, bagaimana cara anak tersebut bergaul dengan teman-temannya dan seperti apa mereka berkomunikasi ketika bermain. Dengan cara yang baikkah, atau malah negatif.
Hal yang semacam ini membutuhkan bimbingan ekstra dari orang-orang terdekatnya, seperti keluarga. Karena jika dibiarkan berkepanjangan akan mengganggu psikologi anak, apalagi anak tersebut masih berusia sangat muda sekali. Kekuatan emosional yang masih labil, mudah berubah-ubah dan meletup-letup.  Pengontrolan ruang lingkup bermain secara rutinpun sangat penting bagi orang tua terhadap anak. Yang terpenting yaitu adanya komunikasi, agar orang tua tahu apa yang si anak sedang rasakan.
Seperti apa yang pernah dibicarakan kak seto mulyadi (2010) bahwa sebenarnya anak-anak ini adalah korban. Mereka merupakan korban dari lingkungan yang tidak kondusif,sehingga ahirnya menjadi nakal. Ia mencontohkan lingkungan yang tidak kondusif adalah misalkan rumah yang kurang hangat dan nyaman karena orang tua terlalu sibuk sehingga tidak bisa bercanda dengan anak. Bisa juga karena orang tua terlalu keras sehingga terlalu mengekang. Selain itu orang tua yang membolehkan segala-galanya juga tidak benar. Jadi sebenarnya tidak ada anak nakal. Yang membuat nakal justru karena kita sebagai orang tua. Jika para orang tua terus memperhatikan perkembangan  anaknya sejak kecil, remaja hingga dewasa dengan menggunakan komunikasi efektif, maka kita tidak akan menjumpai anak-anak yang nakal ini. Jadi sekali lagi anak-anak adalah korban.
Kekerasan dapat terjadi dimanapun, oleh siapapun, dalam bentuk apapun. Budaya seperti inilah yang tidak mencerminkan keindonesiaannya. Karena banyak wisatawan asing yang menilai bahwa indonesia adalah negara yang ramah dan cinta damai, maka seharusnya hal semacam itu dapat terwujud di negara kita ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar