Selasa, 15 April 2014

SAYAP JERAPAH

SAYAP JERAPAH!!!


aku punya mimpi setinggi Jerapah, bukankah itu sangat pendek? tentu tidak!
Jerapah adalah binatang yang paling tinggi diantara teman-teman binatangnya. mempunyai corak yang lucu dan bisa melihat dunia lebih awal dibanding temannya yang lain.
kata pak guru dulu, sejatinya kita adalah binatang yang berotak, maka jerapahlah binatang yang paling tinggi kedudukannya menurutku.
Jerapahku memiliki sayap!!!
agar ia dapat terbang dengan cantik di angkasa sana, menari-nari, menyampaikan segala mimpi kepada langit.
buatlah sayap di punggung binatang kesayanganmu, agar ia bisa terbang dan menyampaikan segala mimpimu kepada Tuhan di langit.

semacam tulisan pendek

Rupanya ada yang lebih sakit dari sekedar flu, yaitu menahan rindu yang menggebu. Ah ternyata perasaan semacam ini amat menyiksa! Melewati segalanya sendiri dan tanpa tahu siapa yang sedang dirindu-i. Rindu itu sakit, menggigit ulu hati kemudian pergi tanpa permisi. 

Selasa, 01 April 2014

SENJA DATANGLAH LEBIH AWAL



Awal bulan April kali ini aku mulai membacakan sajak Sang penyair ternama Chairil Anwar, aku baru faham mengapa Hafsah istri Charil memutuskan untuk bercerai dengan-Nya. Padahal sang jagoan kecil mereka yang bernama EVAWANI telah lahir ke bumi pertiwi ini. Pantaslah Hafsah merasa cemburu akan-Nya, Chairil yang banyak digandrungi banyak wanita kala itu membuat hati istri-Nya memanas ditambah pekerjaannya yang tidak jelas kesana kemari, menjadi penyair, mulai menua dan sakit-sakitan. Salah satu syair Chairil yang sudah tak asing lagi:

Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku merdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku mengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita mati datang tidak membelah

Sejatinya manusia menanti, merindu, mencari. Dan kita ini tengah berpijak di “jalan pulang” ... entah ini jalur yang benar atau salah. Di kepala tergambar jelas apa kita, dimana kita, apa tujuan kita. Tapi semuanya hanya melayang-layang seperti puzzle dengan bentuk-bentuk abstrak. Katanya malam itu. Kemudian ia sesekali bertanya tentang impian menjelajah dunia, ia ingin berkunjung ke Mesir, negri para nabi, negri seribu menara. Ke pantai Alexandria. Ke Kanada, melihat pohon maple yang menua, daunnya jingga berguguran.

SEMBILU


Ada nada lirih menyeret sunyi dalam pilu
Adakah sepoinya mengelabuhi asa sembilu?
Ketika detaknya terdengar kencang hingga trotoar berkoar dan jalak hitam kembali ke sangkar,
Tersipu tertahan kembali meraung dalam hati.
Setiap detiknya aku merasakan kehidupan nyata tapi aku tak hidup sepenuhnya,
Selepas rasa pergi, aku tak lebih dari manusia sepi tak bernyawa.
Dan ilalang yang tak bertangkai menjulang tinggi.
Aku berTuhan.
Ada derap rindu yang tak mungkin kembali seperti dahulu,
Semacam tusukan bambu runcing pada masa penjajahan dahulu,
Laranya tersayat hingga meninggalkan bekas dimasa kini.
Lalu mengertikah sang Tjinta pada masanya?
Dinginnya malam itu hingga menerobos tulang,
Namun tak setengah orang faham akan nyanyian malam itu yang maknanya mendayu-dayu.
Atau berpuisilah hingga pagi menjemput,
Seruput secangkir malam nan pekat beraroma wangi kumbang.
Cahaya bulan temani sembilu terdahulu
Jangan takut sendiri diantara tingginya zaman keangkuhan manusia masa kini
Kisah meninggalkan dan diabaikan sepertinya takkan terulang
Jika percaya Tjinta Tuhan selalu ada untuk makhluknya
Mari menari dalam bayangan kebebasan
Cinta cita rasa, bukankah kami punya itu Tuhan?
Dan menarilah di atas altar kehidupan mereka
Mari menari mari kawan
Bersama kita ukir sejarah
Bukan menuangkan darah yang bercorak mengasingkan
Ada jalan untuk masa terdahulu.

Sabtu, 22 Maret 2014

'AKU' Monyet

"Bukankah titik hujan tak pernah bertanya, kenapa mereka harus meninggalkan tata langit saat harus jatuh membasuh bukit"_____Rectoverso(Larasati), salah satu petikan film yang tayang pada tahun 2013 kemarin. Terkadang hal yang dianggap berarti dalam hidup begitu saja pergi tanpa permisi, semudah itu ia keluar masuk.Tapi apakah hati tahu tentang firasat yang akan terjadi suatu ketika nanti? sejatinya sendiri sudah berulang kali dirasakan. Kala membutuhkan bahu untuk bersandar, bahu pergi dan enggan untuk sekedar menoleh. Sendiri membuat hati menjadi lemah, namun terkadang sendiri menjadikan hati semakin kuat dan tahu siapa yang selalu ada untuk-Nya.

Ingin teriak!!! namun semuanya menjadi tertahan dan sesak. lambat laun hanya terurai dengan sendirinya. Apa yang salah dari alur ini? hanya resah yangku temui pada ujungnya. Oh tentu tidak! ini bukan akhir, aku yakin ini bukan akhir! Aku belum menemukan adegan bahagia yang Tuhan sudah skenariokan. Rasanya bagai di dalam ruangan kotak yang luas dan terdapat empat sudut, kemudian aku duduk di salah satu sudut-Nya sendiri. ketakutan, terpojokkan, keringat dingin, berwarna hitam putih, berurai air mata, mencari pegangan, hampir terbunuh dan sangat-sangat ketakutan. Aku segera membuka buku catatan lamaku, di dalam buku itu aku pernah menulis seperti ini "Berterimakasihlah pada resah. karena resah engkau menjadi gelisah kemudian engkau semakin menjadi kreatif. Apa-apa yang sebelum-Nya tak terpikirkan kau mampu untuk menjamahnya." Aku tak mengerti apa maksudku dulu menuliskan itu. Aku ingat, dulu sering sekali perasaan seperti ini dialami, dan lagi-lagi aku melaluinya sendiri. Apakah Ayah dan Ibu dahulu pernah merasakan hal serupa seperti ini? jika iya, rasanya mengerikan menjadi orang dewasa. ah sungguh aku takut menjadi manusia dewasa.

Ingin loncat!!! Ingin pukuli kepala sedari tadi. Aku sadar ini bukan gila namanya. jelas-jelas aku sadar dan masih mampu membuat puisi untuk seorang lelaki. Apa aku ini monyet?

Terlalu gengsi bagi manusia untuk mengakui bahwa diri-Nya MONYET. Walaupun memang benar ia adalah monyet. Hanya saja ia monyet yang memakai kemeja dan dasi rapi. Kenapa mesti keberatan dipanggil monyet, jika kelakuan-Nya tak jauh beda dengan monyet? Baiklah jika aku terlalu mendesak. Lupakan.

Hidup dengan membawa phobia bukan hal yang mudah ternyata. Betapa bahagia-Nya jikaku menjadi monyet. Berlari kesana-kemari, tak pernah merasa sepi, banyak kawan dan tidak akan membiarkan-Nya sendiri. Tuhan, semoga aku bukan manusia yang tergolong kufur nikmatmu.



Selasa, 11 Maret 2014

Maret Sore ini



Menepi perlahan
Mata kita bertemu di atas meja
Dua mangkuk bisu bersaksi
Meneguk senja mengitari sudut bumi Tuhan
Derapnya melaju perlahan
Beriringan mengantarkan kesunyian
Sekedar bertukar pikiran
Menginjakan kaki di pertokoan
Membuka helai demi helai
Ada ilmu baru ketia aku bersamamu
Mengajarkan halaman baru yang tak aku tahu
Waktu perlahan memburu
Engkau ajak aku beranjak dari toko buku.
Ketika senja pergi,
Matamu berkata hari ini luar biasa
Hatimu pun mengeja, sore ini aku ada.



YA




Ya, terkadang sendiri membuat hati tenang dan terkadang pula risau. Masih banyak lagi deretan kata untuk mendefinisikan sendiri, menikmati hujan sendiri dengan secangkir kopi itu adalah suatu kebahagiaan tersendiri yang dialami oleh sebagian banyak orang. Tanpa banyak orang ketahui bahagia itu amat sangat sederhana. Kamu tahu ocehan malam yang menyampah dipendengaran? Yaa itu hanya sampah busuk dipojokan kekangan. Tidak berfungsi tidak berisi, hanya koaran bau yang semakin tak bermutu. Berisikkkkkk!!!
Kau yang selalu bilang selalu bilang untuk tetap aku disini, ahh mungkin semacam ancaman sesaat saja. Dan aku tidak menyukai alkohol! Jangankan alkohol baunya saja aku muak! Jadi aku tidak ingin mempunyai suami seorang peminum, perokok mungkin masih dalam ambang kewajaran selagi tidak berlebihan mengkonsumsinya.
Hahaha terserah terserah terserah para tuan dan nyonya yang duduk manis memantau kaki tangan nistanya berjuang dilumpur kelelahan.
Hey tengok jendelamu, ada hujan yang meronta-ronta kesakitan.