Jumat, 25 April 2014
PERIODE
Untuk sore ini dan deburan ombak Tuhan
Terpancar bias kehangatan namun miris bunyinya
Mereka mati diserbu ribuan awan
Mendesir terkikis perbedaan zaman
Apakah mereka tuli,
Atau tak bertelinga.
Semacam syahadat yang tak bertuhan
Menganggut perlahan tak hiraukan aral.
Jalak bertopeng srigala,
Menceritakan paranoidnya pada luka.
Yogyakarta, 02 maret 2013
Selasa, 15 April 2014
SAYAP JERAPAH
SAYAP JERAPAH!!!
aku punya mimpi setinggi Jerapah, bukankah itu sangat pendek? tentu tidak!
Jerapah adalah binatang yang paling tinggi diantara teman-teman binatangnya. mempunyai corak yang lucu dan bisa melihat dunia lebih awal dibanding temannya yang lain.
kata pak guru dulu, sejatinya kita adalah binatang yang berotak, maka jerapahlah binatang yang paling tinggi kedudukannya menurutku.
Jerapahku memiliki sayap!!!
agar ia dapat terbang dengan cantik di angkasa sana, menari-nari, menyampaikan segala mimpi kepada langit.
buatlah sayap di punggung binatang kesayanganmu, agar ia bisa terbang dan menyampaikan segala mimpimu kepada Tuhan di langit.
semacam tulisan pendek
Rupanya ada yang lebih sakit dari sekedar flu,
yaitu menahan rindu yang menggebu. Ah ternyata perasaan semacam ini amat
menyiksa! Melewati segalanya sendiri dan tanpa tahu siapa yang sedang
dirindu-i. Rindu itu sakit, menggigit ulu hati kemudian pergi tanpa permisi.
Selasa, 01 April 2014
SENJA DATANGLAH LEBIH AWAL
Awal bulan April kali ini aku mulai membacakan sajak Sang
penyair ternama Chairil Anwar, aku baru faham mengapa Hafsah istri Charil
memutuskan untuk bercerai dengan-Nya. Padahal sang jagoan kecil mereka yang
bernama EVAWANI telah lahir ke bumi pertiwi ini. Pantaslah Hafsah merasa
cemburu akan-Nya, Chairil yang banyak digandrungi banyak wanita kala itu
membuat hati istri-Nya memanas ditambah pekerjaannya yang tidak jelas kesana
kemari, menjadi penyair, mulai menua dan sakit-sakitan. Salah satu syair
Chairil yang sudah tak asing lagi:
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku merdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku mengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita mati datang tidak membelah
Sejatinya manusia menanti, merindu, mencari. Dan kita ini
tengah berpijak di “jalan pulang” ... entah ini jalur yang benar atau salah. Di
kepala tergambar jelas apa kita, dimana kita, apa tujuan kita. Tapi semuanya
hanya melayang-layang seperti puzzle dengan bentuk-bentuk abstrak. Katanya malam
itu. Kemudian ia sesekali bertanya tentang impian menjelajah dunia, ia ingin
berkunjung ke Mesir, negri para nabi, negri seribu menara. Ke pantai
Alexandria. Ke Kanada, melihat pohon maple yang menua, daunnya jingga berguguran.
SEMBILU
Ada nada lirih menyeret sunyi dalam pilu
Adakah sepoinya mengelabuhi asa sembilu?
Ketika detaknya terdengar kencang hingga trotoar berkoar dan
jalak hitam kembali ke sangkar,
Tersipu tertahan kembali meraung dalam hati.
Setiap detiknya aku merasakan kehidupan nyata tapi aku tak
hidup sepenuhnya,
Selepas rasa pergi, aku tak lebih dari manusia sepi tak
bernyawa.
Dan ilalang yang tak bertangkai menjulang tinggi.
Aku berTuhan.
Ada derap rindu yang tak mungkin kembali seperti dahulu,
Semacam tusukan bambu runcing pada masa penjajahan dahulu,
Laranya tersayat hingga meninggalkan bekas dimasa kini.
Lalu mengertikah sang Tjinta pada masanya?
Dinginnya malam itu hingga menerobos tulang,
Namun tak setengah orang faham akan nyanyian malam itu yang
maknanya mendayu-dayu.
Atau berpuisilah hingga pagi menjemput,
Seruput secangkir malam nan pekat beraroma wangi kumbang.
Cahaya bulan temani sembilu terdahulu
Jangan takut sendiri diantara tingginya zaman keangkuhan
manusia masa kini
Kisah meninggalkan dan diabaikan sepertinya takkan terulang
Jika percaya Tjinta Tuhan selalu ada untuk makhluknya
Mari menari dalam bayangan kebebasan
Cinta cita rasa, bukankah kami punya itu Tuhan?
Dan menarilah di atas altar kehidupan mereka
Mari menari mari kawan
Bersama kita ukir sejarah
Bukan menuangkan darah yang bercorak mengasingkan
Ada jalan untuk masa terdahulu.
Sabtu, 22 Maret 2014
'AKU' Monyet
"Bukankah titik hujan tak pernah bertanya, kenapa mereka harus meninggalkan tata langit saat harus jatuh membasuh bukit"_____Rectoverso(Larasati), salah satu petikan film yang tayang pada tahun 2013 kemarin. Terkadang hal yang dianggap berarti dalam hidup begitu saja pergi tanpa permisi, semudah itu ia keluar masuk.Tapi apakah hati tahu tentang firasat yang akan terjadi suatu ketika nanti? sejatinya sendiri sudah berulang kali dirasakan. Kala membutuhkan bahu untuk bersandar, bahu pergi dan enggan untuk sekedar menoleh. Sendiri membuat hati menjadi lemah, namun terkadang sendiri menjadikan hati semakin kuat dan tahu siapa yang selalu ada untuk-Nya.
Ingin teriak!!! namun semuanya menjadi tertahan dan sesak. lambat laun hanya terurai dengan sendirinya. Apa yang salah dari alur ini? hanya resah yangku temui pada ujungnya. Oh tentu tidak! ini bukan akhir, aku yakin ini bukan akhir! Aku belum menemukan adegan bahagia yang Tuhan sudah skenariokan. Rasanya bagai di dalam ruangan kotak yang luas dan terdapat empat sudut, kemudian aku duduk di salah satu sudut-Nya sendiri. ketakutan, terpojokkan, keringat dingin, berwarna hitam putih, berurai air mata, mencari pegangan, hampir terbunuh dan sangat-sangat ketakutan. Aku segera membuka buku catatan lamaku, di dalam buku itu aku pernah menulis seperti ini "Berterimakasihlah pada resah. karena resah engkau menjadi gelisah kemudian engkau semakin menjadi kreatif. Apa-apa yang sebelum-Nya tak terpikirkan kau mampu untuk menjamahnya." Aku tak mengerti apa maksudku dulu menuliskan itu. Aku ingat, dulu sering sekali perasaan seperti ini dialami, dan lagi-lagi aku melaluinya sendiri. Apakah Ayah dan Ibu dahulu pernah merasakan hal serupa seperti ini? jika iya, rasanya mengerikan menjadi orang dewasa. ah sungguh aku takut menjadi manusia dewasa.
Ingin loncat!!! Ingin pukuli kepala sedari tadi. Aku sadar ini bukan gila namanya. jelas-jelas aku sadar dan masih mampu membuat puisi untuk seorang lelaki. Apa aku ini monyet?
Terlalu gengsi bagi manusia untuk mengakui bahwa diri-Nya MONYET. Walaupun memang benar ia adalah monyet. Hanya saja ia monyet yang memakai kemeja dan dasi rapi. Kenapa mesti keberatan dipanggil monyet, jika kelakuan-Nya tak jauh beda dengan monyet? Baiklah jika aku terlalu mendesak. Lupakan.
Hidup dengan membawa phobia bukan hal yang mudah ternyata. Betapa bahagia-Nya jikaku menjadi monyet. Berlari kesana-kemari, tak pernah merasa sepi, banyak kawan dan tidak akan membiarkan-Nya sendiri. Tuhan, semoga aku bukan manusia yang tergolong kufur nikmatmu.
Ingin teriak!!! namun semuanya menjadi tertahan dan sesak. lambat laun hanya terurai dengan sendirinya. Apa yang salah dari alur ini? hanya resah yangku temui pada ujungnya. Oh tentu tidak! ini bukan akhir, aku yakin ini bukan akhir! Aku belum menemukan adegan bahagia yang Tuhan sudah skenariokan. Rasanya bagai di dalam ruangan kotak yang luas dan terdapat empat sudut, kemudian aku duduk di salah satu sudut-Nya sendiri. ketakutan, terpojokkan, keringat dingin, berwarna hitam putih, berurai air mata, mencari pegangan, hampir terbunuh dan sangat-sangat ketakutan. Aku segera membuka buku catatan lamaku, di dalam buku itu aku pernah menulis seperti ini "Berterimakasihlah pada resah. karena resah engkau menjadi gelisah kemudian engkau semakin menjadi kreatif. Apa-apa yang sebelum-Nya tak terpikirkan kau mampu untuk menjamahnya." Aku tak mengerti apa maksudku dulu menuliskan itu. Aku ingat, dulu sering sekali perasaan seperti ini dialami, dan lagi-lagi aku melaluinya sendiri. Apakah Ayah dan Ibu dahulu pernah merasakan hal serupa seperti ini? jika iya, rasanya mengerikan menjadi orang dewasa. ah sungguh aku takut menjadi manusia dewasa.
Ingin loncat!!! Ingin pukuli kepala sedari tadi. Aku sadar ini bukan gila namanya. jelas-jelas aku sadar dan masih mampu membuat puisi untuk seorang lelaki. Apa aku ini monyet?
Terlalu gengsi bagi manusia untuk mengakui bahwa diri-Nya MONYET. Walaupun memang benar ia adalah monyet. Hanya saja ia monyet yang memakai kemeja dan dasi rapi. Kenapa mesti keberatan dipanggil monyet, jika kelakuan-Nya tak jauh beda dengan monyet? Baiklah jika aku terlalu mendesak. Lupakan.
Hidup dengan membawa phobia bukan hal yang mudah ternyata. Betapa bahagia-Nya jikaku menjadi monyet. Berlari kesana-kemari, tak pernah merasa sepi, banyak kawan dan tidak akan membiarkan-Nya sendiri. Tuhan, semoga aku bukan manusia yang tergolong kufur nikmatmu.
Langganan:
Postingan (Atom)