Banyak kasus-kasus yang terjadi
sekarang ini di negri kita indonesia, seperti korupsi, pemerkosaan, perampokan,
penculikan anak dan masih banyak lagi. Namun yang paling mencolok sekarang ini
yaitu kasus kekerasan, yang dapat kita temukan diberbagai pelosok negeri ini.
Seorang ayah yang menyiksa anak kandungnya sampai tewas, ada lagi seorang
lelaki yang mencoba membunuh seorang balita dengan cara disemen hingga kaku dan
masih banyak lagi kasus-kasus kekerasan semacam itu yang terjadi di indonesia.
Teringat ketika beberapa hari
yang lalu diawal Desember tepatnya ketika anggota magang lpm pendapa sedang
melaksanakan diklatsar yang bertempat di pondok pemuda ambarbinangun
kasihan-bantul, ada sekitar 5-6 anak laki-laki usianya kurang lebih 9-10
tahunan sedang bergerombol di tengah lapangan luas depan pondok tempat kami
beristirahat sore itu. Salah satu diantara mereka ada yang mengenakan kaos biru
yang bagian lehernya compang-camping, berbadan lebih kurus dan lebih kecil dari
teman-teman yang lainnya. Dia berkata kepada teman-temannya “wes toh....aku ki salah opo e sa” ucap anak laki-laki itu sambil berjalan
mundur dan sesekali menutupi wajahnya karena takut terkena tinju oleh temannya
yang memiliki postur tubuh lebih besar darinya.
Dari jarak kejauhan sangat
terlihat jelas anak berbaju biru itu sedang dipukuli habis-habisan oleh
teman-temannya, dijatuhkan ketanah gersang, dipukuli bagian wajah maupun
perutnya, digulingkan kemudian diinjak, sesekali dia berlari ingin meloloskan
diri dari cengkraman teman-temannya namun teman-temannya mengejar seolah tidak
ingin melepaskan anak berbaju biru tersebut. Dengan rasa belas kasihan aku
bersama teman-teman lpm pendapa yang turut menyaksikan kejadian tersebut
kemudian melerainya, namun baru sempat mengucap kata “dek... sudah... sudah...
jangan berkelahi” mereka langsung menyangkalnya “dasar cerewet!!!”. Namun hal
tersebut tak membuat kami berhenti untuk memisahkan bocah kecil yang berlagak
seperti preman itu untuk menyudahi perkelahiannya.
Miris sekali ketika melihat
seusia mereka yang masih terbilang sangat muda untuk berkelahi seperti preman
pasar yang ngamuk-ngamuk meminta jatah makannya, setelahku dekati gerombolan
tersebut kaget bukan main ketika melihat wajah anak laki-laki yang tadi
memukuli anak berbaju biru tersebut bonyok berceceran darah dibagian dekat mata
sembari dipenuhi pasir. Anak berbaju biru masih merengek bercucuran air mata
ketakutan, ada sesuatu yang menarik disini. Anak berbaju biru tersebut yang
berpostur lebih kecil dari teman seusianya memiliki tatto pada bagian dada dan
punggungnya, tatto tersebut berupa tulisan. Entah tulisan apa itu kami tidak
faham, namun yang membuat tersentak yakni anak kecil seusia 9 tahun sudah
berani memasang tatto yang sepertinya terlihat permanen. Usik punya usik
ternyata perkara awalnya ialah si anak berbaju biru kurus kecil dan bertatto
itu yang memulai terjadinya perkelahian yang mengakibatkan wajah temannya
bercucuran darah. Karena temannya tidak terima atas perilaku tersebut, maka
terjadilah percekcokan berkepanjangan.
Setiap orang tua pasti tidak
menginginkan anaknya tumbuh menjadi orang yang tidak berguna dan hanya menjadi
sampah. Namun demikian, banyak faktor yang mendorong dan mempengaruhi didalam
proses tumbuh kembang si anak.
Diantaranya yaitu pergaulan dan lingkungan, bagaimana cara anak tersebut
bergaul dengan teman-temannya dan seperti apa mereka berkomunikasi ketika
bermain. Dengan cara yang baikkah, atau malah negatif.
Hal yang semacam ini membutuhkan
bimbingan ekstra dari orang-orang terdekatnya, seperti keluarga. Karena jika
dibiarkan berkepanjangan akan mengganggu psikologi anak, apalagi anak tersebut
masih berusia sangat muda sekali. Kekuatan emosional yang masih labil, mudah
berubah-ubah dan meletup-letup. Pengontrolan
ruang lingkup bermain secara rutinpun sangat penting bagi orang tua terhadap
anak. Yang terpenting yaitu adanya komunikasi, agar orang tua tahu apa yang si
anak sedang rasakan.
Seperti apa yang pernah
dibicarakan kak seto mulyadi (2010) bahwa sebenarnya anak-anak ini adalah
korban. Mereka merupakan korban dari lingkungan yang tidak kondusif,sehingga
ahirnya menjadi nakal. Ia mencontohkan lingkungan yang tidak kondusif adalah
misalkan rumah yang kurang hangat dan nyaman karena orang tua terlalu sibuk
sehingga tidak bisa bercanda dengan anak. Bisa juga karena orang tua terlalu
keras sehingga terlalu mengekang. Selain itu orang tua yang membolehkan
segala-galanya juga tidak benar. Jadi sebenarnya tidak ada anak nakal. Yang
membuat nakal justru karena kita sebagai orang tua. Jika para orang tua terus
memperhatikan perkembangan anaknya sejak
kecil, remaja hingga dewasa dengan menggunakan komunikasi efektif, maka kita
tidak akan menjumpai anak-anak yang nakal ini. Jadi sekali lagi anak-anak
adalah korban.
Kekerasan dapat terjadi
dimanapun, oleh siapapun, dalam bentuk apapun. Budaya seperti inilah yang tidak
mencerminkan keindonesiaannya. Karena banyak wisatawan asing yang menilai bahwa
indonesia adalah negara yang ramah dan cinta damai, maka seharusnya hal semacam
itu dapat terwujud di negara kita ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar