EDHI
SUNARSO
Judul: Keberangkatan Pengasingan presiden Soekarno
oleh Belanda ke Pulau Bangka
Tahun: 1998
Media: Bronze
Ukuran: 440 x 80 x 80 cm
“sosok Soekarno adalah ikon
sejati Negara ini. Sebagai seorang arsitek, Soekarno tidak hanya merancang
bangunan namun juga sebuah Negara, sebuah Bangsa yang diharapkan mampu menjadi
mercu suar dunia. Melalui karya ini Edhi Sunarso mencoba memaknai kisah ironis
yang dialami oleh Soekarno pada tahun 1949 ketika ia harus mengalami
pengasingan (lagi) oleh Belanda. Terlebih di negerinya sendiri , negeri yang
dengan segala daya upaya akhirnya bisa di proklamirkan kemerdekaannya, empat
tahun sebelum peristiwa pengasingan ini. “
Patung
Soekarno yang di pamerkan di ART JOG 2014 karya Edhi Sunarso ini tersirat
banyak makna, kegagahan Bung Karno tegak berdiri dan rasa Nasionalime yang
membara terlihat dan berhasil seniman ciptakan dalam karyanya yang satu ini.
Soekarno yang harus diasingkan ke Pulau Bangka pada tahun 1949 setelah
kemerdekaan Indonesia, mungkin saja
batinnya pada saat itu mengalami kombinasi rasa berkecamuk dan berdentam. Namun
semua itu tak membuatnya gentar dan tetap semangat memperjuangkan Negara yang
kaya akan budaya ini.
Patung
yang terpampang di ART JOG ini mampu menarik banyak perhatian pengunjung yang
turut penasaran akan hebatnya perjuangan seorang Soekarno, ukuran yang lumayan
tinggi dan lebar ini membuat saya maupun pengunjung lainnya terkagum-kagum akan
sang maestro Edhi Sunarso.
DJOKO
PEKIK
Judul: Go To
Hell Crocodile
Tahun: 2014
Media: Oil on
Canvas
Ukuran: 275 x
600 cm
“Revolusi
kemerdekaan Indonesia ditebus dengan nyawa. Kini 69 Tahun sudah umur
kemerdekaan Indonesia, tapi 49 tahun terakhir tercabik-cabik oleh kapitalis
asing yang telah mencengkeram dan menjarah kekayaan tanah air Indonesia hingga
ke akarnya. Wahai pengurus bangsa, kembalikan martabat bangsa dan daulat negara
dan hentikan penjarahan kapitalisme asing.”
Menurut pengamatan yang saya tangkap dari karya
Djoko Pekik disini adalah keresahan akan budaya penjarahan yang banyak terjadi
di negeri Indonesia tercinta ini. Buaya berukuran lebih besar dari ukuran
manusia dan dengan lidah yang keluar api seperti melambangkan penguasa atau si
penjarah wilayah kekuasaan yang ingin merampas habis wilayah beserta isinya. Si
buaya mencoba mengendap perlahan sebelum menerkam lawan, matanya yang penuh
sorot kejahatan seakan memberikan ancaman agar manusia semua ketakutan, cakar
dan taringnya terlihat betapa sadisnya binatang bernama “Buaya”.
Terlihat berjejer sekumpulan manusia yang datang
dari berbagai lintas profesi dan sepertinya di barisan depan terlihat Djoko
Pekik sedang membawa bambu runcing. Bambu runcing menyimbolkan senjata
perlawanan bangsa Indonesia pada zaman dahulu ketika masih dijajah, mungkin ini
alasan mengapa Djoko Pekik tidak memilih untuk melukiskan senjata lain yang
sedang ia bawa seperti contohnya pistol, samurai dan lain sejenisnya.
Pemilihan warna terlihat balance dan manis sehingga enak ketika dinikmati, Djoko Pekik mampu
membuat pikiran bawah sadar mencair dan menerawang jauh ketika melihat
karyanya. Menerka pesan apa yang ada di dalam lukisannya tersebut, saya
menangkap sesuatu ketika melihat ada lubang seperti lorong melingkar diantara
buaya dan sekumpulan manusia yang mencoba melawan. Lubang atau lorong panjang
yang berujung terlihat hitam itu seperti kehidupan, semua terus berjalan
melewati waktu demi waktu selama nafas masih dikandung badan perjuangan dan
perlawanan akan kemunafikan dan problema kehidupan akan terus berjalan
berdampingan. Sampai tiba pada waktunya semua akan berakhir, yakni kematian.
Hanya kematian yang akan menghentikan perlawanan terhadap penjarahan.
Judul: Riding
The Tigerish Goat
Tahun: 2014
Media: Fiberglass,
enamel paint, electronic and mechanical
Ukuran: 5
pieces each 125 x 100 x 115 cm
“Karya
ini terinspirasi oleh era orde baru yang sangat otoriter dan sesungguhnya masih
ada korelasinya dengan situasi saat ini. Riding The Tigerish Goat adalah parodi
dari Riding the Tiger, film dokumenter karya Curtis Levy mengenai situasi
politik di Indonesia. Ternyata yang ditunggangi oleh sang tokoh bukanlah
harimau yang setiap saat dapat menerkam dan memakan sang tokoh, melainkan hanya
kambing yang berlagak sebagai harimau yang membuatnya dapat berkuasa hingga
puluhan tahun.”
Heri Dono menciptakan sebuah karya yang menggunakan
perumpamaan seeokor harimau berkepala manusia yang dinaiki oleh prajurit. Namun
menurut keterangan sesungguhnya ini bukanlah harimau melainkan hanya seekor
kambing yang berlagak bagai harimau saja. Yang saya tangkap dari keterangan
karya yakni, badan harimau namun mental kambing yang dimaksud disini adalah
raga yang dimiliki ikon ini tidak sesuai dengan mental yang sebenarnya ia
punyai. Penggambaran jaman orde baru yang penuh dengan sistem otoriter banyak paras
yang terlihat ganas namun mental dan isi yang ada di dalamnya tak sesuai.
Para prajurit yang menunggangi harimau tersebut
seperti menggambarkan penguasa pada era orde baru tersebut yang berkuasa selama
puluhan tahun. Terlihat gagah dengan menunggaungi harimau sebagai simbol
kejantanannya, namun ternyata harimau disini hanyalah kamuflase agar rakyat
menjadi takut dan tunduk akan peraturan yang ia buat saat itu.
THERESIA
AGUSTINA SITOMPUL
Judul: Igau
Tahun: 2014
Media: Mix
Media Video Instalation
Talent: Chacha
ninimranggi (Chandra Setiyawan, Sosiologi UIN Yogyakarta)
Variable Dimensions: 00:04’:48”
“Mengigau
biasanya dilakukan tanpa sadar dan bentuknya hanya dapat berbisik, berbicara
normal atau bahkan berteriak. Begitu pula yang terjadi pada tataran pembesar di
Negeri ini yang banyak “mengigau” , berkoar-koar tanpa makna. Sadar fisik tapi tak sadar
pikiran. Sehingga apapun yang diutarakan rakyatnya hanya numpang lewat.”
Theresia melalui karyanya ingin menyampaikan
aspirasi rakyat agar hal sekecil apapun dapat didengar dan direalisasikan oleh
pemerintah Negeri ini. Seolah-olah apa yang rakyat teriakkan selama ini
hanyalah angin lalu yang tak ada gunanya bak kentut yang aromanya tak banyak
orang harapkan. Melalui karyanya ini Theresia Sitompul membuat suatu gebrakan
bahwasannya siapa saja mempunyai hak untuk menyuarakan apa yang ia inginkan dan
ia ingin wuudkan.
Saya melihat Talent yang ada dalam Video Instalasi
ini seorang wanita memakai jilbab dan pakaian muslim, namun jika dilihat dan diamati
lebih detail lagi Talent disini adalah seorang lelaki bernama Chandra mahasiswa
UIN Yogyakarta. Saya mengambil kesimpulan bahwa si Talent ini adalah seorang
transgender, ia bisa saja berharap segala aspirasinya dapat didengar oleh
pemerintah. Pada bagian atas Video terdapat seperti bantalan kemudian di bagian
tengah terdapat pistol, pistol disini saya menangkap mempunyai arti atau
lambang lelaki. Dimana pistol identik digunakan oleh mayoritas kaum adam,
kemudian dibagian paling bawah ada bantalan seperti bayi yang sedang
memiringkan badannya dalam kandungan. Ini bisa saja menyimbolkan bahwasannya
seorang transgender pada dasarnya adalah pria yang memiliki kromosom XY.
Kemudian seiring perjalanan hidupnya ia merasa tidak nyaman dengan identitas
yang ia punya maka berubahlah ia menjadi seperti wanita bahkan mirip wanita
seutuhnya. Jadi kesimpulannya Video Instalasi yang Theresia buat ini adalah
sebuah teriakan dimana di dalam negara kita Indonesia ini ada seseorang yang
mengalami transgender namun terkadang keberadaannya masih kurang dihargai baik
oleh masyarakat luas maupun oleh pemerintah itu sendiri. Sehingga karya yang
berjudul ‘Delirium’ ini sangat cocok sebagai penggambaran bahwa semuanya
seperti mengigau saja, bersuara namun tak dianggap ada.